Wednesday, February 6, 2013

Sejarah nama Indonesia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Untuk artikel tentang nama orang-orang Indonesia, lihat Nama Indonesia
Catatan masa lalu menyebut kepulauan di antara Indocina dan Australia dengan aneka nama.
Kronik-kronik bangsa Tionghoa menyebut kawasan ini sebagai Nan-hai ("Kepulauan Laut Selatan").
Berbagai catatan kuno bangsa India menamai kepulauan ini Dwipantara ("Kepulauan Tanah Seberang"), nama yang diturunkan dari kata dalam bahasa Sanskerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang). Kisah Ramayana karya pujangga Walmiki menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Rahwana, sampai ke Suwarnadwipa ("Pulau Emas", diperkirakan Pulau Sumatera sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara.
Bangsa Arab menyebut wilayah kepulauan itu sebagai Jaza'ir al-Jawi (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk kemenyan, benzoe, berasal dari nama bahasa Arab, luban jawi ("kemenyan Jawa"), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon Styrax sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di Sumatera. Sampai hari ini jemaah haji kita masih sering dipanggil "orang Jawa" oleh orang Arab, termasuk untuk orang Indonesia dari luar Jawa sekali pun. Dalam bahasa Arab juga dikenal nama-nama Samathrah (Sumatera), Sholibis (Pulau Sulawesi), dan Sundah (Sunda) yang disebut kulluh Jawi ("semuanya Jawa").
Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari orang Arab, Persia, India, dan Tiongkok. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Tiongkok semuanya adalah Hindia. Jazirah Asia Selatan mereka sebut "Hindia Muka" dan daratan Asia Tenggara dinamai "Hindia Belakang", sementara kepulauan ini memperoleh nama Kepulauan Hindia (Indische Archipel, Indian Archipelago, l'Archipel Indien) atau Hindia Timur (Oost Indie, East Indies, Indes Orientales). Nama lain yang kelak juga dipakai adalah "Kepulauan Melayu" (Maleische Archipel, Malay Archipelago, l'Archipel Malais).
Unit politik yang berada di bawah jajahan Belanda memiliki nama resmi Nederlandsch-Indie (Hindia-Belanda). Pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia Timur) untuk menyebut wilayah taklukannya di kepulauan ini.
Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah memakai nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan Indonesia, yaitu "Insulinde", yang artinya juga "Kepulauan Hindia" (dalam bahasa Latin "insula" berarti pulau). Nama "Insulinde" ini selanjutnya kurang populer, walau pernah menjadi nama surat kabar dan organisasi pergerakan di awal abad ke-20.

Nama Indonesia

Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA, BI: "Jurnal Kepulauan Hindia dan Asia Timur")), yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869), seorang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA.
Dalam JIAEA volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations ("Pada Karakteristik Terkemuka dari Bangsa-bangsa Papua, Australia dan Melayu-Polinesia"). Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia ("nesos" dalam bahasa Yunani berarti "pulau"). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia dari Bahasa Inggris):
"... Penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu masing-masing akan menjadi "Orang Indunesia" atau "Orang Malayunesia"".
Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (sebutan Srilanka saat itu) dan Maldives (sebutan asing untuk Kepulauan Maladewa). Earl berpendapat juga bahwa bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini. Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia.
Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago ("Etnologi dari Kepulauan Hindia"). Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah Indian Archipelago ("Kepulauan Hindia") terlalu panjang dan membingungkan. Logan kemudian memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia. [1]
Dan itu membuktikan bahwa sebagian kalangan Eropa tetap meyakini bahwa penduduk di kepulauan ini adalah Indian, sebuah julukan yang dipertahankan karena sudah terlanjur akrab di Eropa.
Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia):
"Mr Earl menyarankan istilah etnografi "Indunesian", tetapi menolaknya dan mendukung "Malayunesian". Saya lebih suka istilah geografis murni "Indonesia", yang hanya sinonim yang lebih pendek untuk Pulau-pulau Hindia atau Kepulauan Hindia"
Ketika mengusulkan nama "Indonesia" agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu akan menjadi nama resmi. Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama "Indonesia" dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi. [1]
Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel ("Indonesia atau Pulau-pulau di Kepulauan Melayu") sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara di kepulauan itu pada tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah "Indonesia" di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah "Indonesia" itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indië tahun 1918. Pada kenyataannya, Bastian mengambil istilah "Indonesia" itu dari tulisan-tulisan Logan.
Pribumi yang mula-mula menggunakan istilah "Indonesia" adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika dibuang ke negeri Belanda tahun 1913 ia mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Persbureau.
Nama Indonesisch (pelafalan Belanda untuk "Indonesia") juga diperkenalkan sebagai pengganti Indisch ("Hindia") oleh Prof Cornelis van Vollenhoven (1917). Sejalan dengan itu, inlander ("pribumi") diganti dengan Indonesiër ("orang Indonesia")..

Politik

Pada dasawarsa 1920-an, nama "Indonesia" yang merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia, sehingga nama "Indonesia" akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan. Sebagai akibatnya, pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu. [1]
Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama Indische Vereeniging) berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.
Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya,
"Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) mustahil disebut "Hindia-Belanda". Juga tidak "Hindia" saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air pada masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesiër) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya."
Di Indonesia Dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club pada tahun 1924. Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada tahun 1925 Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij). Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-mula menggunakan nama "Indonesia". Akhirnya nama "Indonesia" dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa, dan bahasa pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini dikenal dengan sebutan Sumpah Pemuda.
Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota Volksraad (Dewan Rakyat; parlemen Hindia-Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, dan Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Belanda agar nama Indonesië diresmikan sebagai pengganti nama "Nederlandsch-Indie". Permohonan ini ditolak. Sementara itu, Kamus Poerwadarminta yang diterbitkan pada tahun yang sama mencantumkan lema nusantara sebagai bahasa Kawi untuk "kapuloan (Indonesiah)".
Dengan pendudukan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah nama "Hindia-Belanda". Pada tanggal 17 Agustus 1945, menyusul deklarasi Proklamasi Kemerdekaan, lahirlah Republik Indonesia.

sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_nama_Indonesia

Tuesday, February 5, 2013

Inilah Jadwal UN 2013 Untuk SD/MI dan SDLB

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) telah merilis secara resmi jadwal Ujian Nasional (UN) 2013 melalui Badan Nasional Standar Pendidikan (BNSP). Jadwal UN 2013 ini tercantum dalam Prosedur Operasi Standar UN atau biasa disebut POS UN 2013 yang sudah bisa didownload.

Berdasarkan  POS UN tersebut, UN untuk tingkat SD/MI dan SDLB akan diselenggarakan pada tanggal 6-8 Mei dengan mata pelajaran yang diujikan adalah Bahasa Indonesia, Matematika dan IPA. UN susulan bagi yang sakit atau tidak hadir akan dilaksanakan pada tanggal 13-15 Mei.


Jadwal UN 2013
Jadwal UN 2013

Untuk pengiriman hasil UN oleh penyelenggara UN Tingkat Provinsi ke Penyelenggara UN Tingkat Kabupaten/Kota paling lambat tanggal 3 Juni 2013. Pengumuman kelulusan peserta didik tingkat SD/MI dan SDLB dari satuan pendidikan paling lambat dilaksanakan pada tanggal 8 Juni 2013.

Thursday, January 31, 2013

Download POS UN SD/MI/SDLB Tahun 2013



Badan Nasional Pendidikan (BNSP) telah merilis Prosedur Operasional Standar (POS) Ujian Nasional (UN) tahun pelajaran 2012/2013 untuk tingkat Sekolah Dasar (SD)/Madrasah Ibtidaiyah (MI)/SDLB. Dalam POS UN SD/MI dan SDLB, Tahun Pelajaran 2012/2013 tercantum beberapa sub bab yang menjadi pedoman dalam penyelenggaraan UN SD/MI/SDLB.

Prosedur Operasi Standar Ujian Nasional, selanjutnya disebut POS UN, Tahun Pelajaran 2012/2013 menyebutkan beberapa ketentuan, misalnya:

Ujian Sekolah/Madrasah selanjutnya disebut Ujian S/M adalah kegiatan pengukuran dan penilaian kompetensi peserta didik yang dilakukan oleh sekolah/madrasah.

Ujian Nasional SD/MI, SDLB, yang selanjutnya disebut UN adalah kegiatan pengukuran dan penilaian pencapaian kompetensi lulusan SD/MI, SDLB, secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi.

Kisi-kisi soal UN adalah acuan dalam pengembangan dan perakitan soal UN yang disusun berdasarkan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar dalam Standar Isi Satuan Pendidikan Dasar.

Pada Sub kedua POS UN SD/MI/SDLB, memberikan penjelasan tentang peserta ujian nasional yang menyangkut: (A.) Persyaratan Peserta Ujian Nasional (UN), (B.) Pendaftaran Peserta UN. Selanjutnya pada sub ketiga menjelaskan tentang Penyelenggara UN yang terdiri atas Penyelenggara UN Tingkat Pusat, Penyelenggara UN Tingkat Provinsi, Penyelenggara UN Tingkat Kabupaten/Kota, dan Penyelenggara UN Tingkat Sekolah/Madrasah.

Selengkapnya POS UN SD/MI dan SDLB, Tahun Pelajaran 2012/2013 bisa didownload di sini atau di sini.

Friday, January 18, 2013

Menggugat Mitos Bangsa Bodoh Ciptaan Kolonialisme Barat

Penulis : Agus Sunyoto, Pengasuh di Pesantren Budaya Nusantara

Dalam Sarasehan Ahad Pagi yang bertema ‘Indonesia di tengah arus globalisasi’ dengan narasumber Prof Nafaq al-Bahluli, Ph.D, seorang pakar sejarah sosial. Seperti lazimnya doktor lulusan luar negeri, Prof Nafaq al-Bahluli memiliki pandangan miring bersifat stigmatis terhadap orang-orang Indonesia yang  dikenal sebagai pribumi  pemalas, etos kerjanya rendah, lebih suka menggunakan perasaan daripada akal, suka pamer, pemikirannya diliputi  takhayul, suka berangan-angan, kurang memiliki kemampuan untuk bersaing, dan agak  sedikit bodoh. Itu sebabnya, menurut Prof Nafaq al-Bahluli, di era global ini orang-orang Indonesia hanya berkedudukan sebagai konsumen karena tidak mampu memproduksi komoditas apalagi mendistribusikannya.

Menggugat Mitos Bangsa Bodoh Ciptaan Kolonialisme Barat
foto : http://niadilova.blogdetik.com

Untuk menunjukkan bukti ketidak-mampuan orang-orang Indonesia bersaing di era global, Prof Nafaq al-Bahluli memaparkan kemajuan bangsa Eropa di bidang IPTEK yang jauh tidak terkejar, yang pengaruhnya terlihat pada  sejumlah istilah teknologi Belanda dalam bahasa Indonesia seperti:  Kusir (koetsir), sopir (chauffeur), cek (check), sekop (schoppen), sepur (spoor), spon (spons), slot, grendel, engsel, radio, lampu, gelas,  delman, hotel, jodium, kantoor, bank. Pos (post), bromfiets,  bom, buku (boek), dok, bioskop (bioscoop), plafon, klompen, dll. “Kalau bikin alas kaki yang disebut klompen saja meniru Belanda, apa yang bisa dibikin oleh bangsa ini?” kata Prof Nafaq al-Bahluli dengan nada mengejek lalu melanjutkan,”Bagaimana bisa menyaingi USA, Jepang, Cina, Jerman, Perancis, inggris, bahkan Thailand dan Vietnam kalau bikin peniti saja tidak bisa. Peniti saja impor dari Cina.”
 

Pada saat sesi dialog dibuka Dullah yang tersinggung mencecar Prof Nafaq al-Bahluli dengan memaparkan bukti-bukti kemampuan orang-orang Indonesia memproduksi komoditas yang bisa bersaing di tengah perdagangan global seperti sepeda motor, mobil, televisi, radio, kulkas, pesawat terbang, dll. “Apakah Anda mengingkari fakta bahwa bangsa kita sudah mampu memproduksi mobil Kijang, motor Revo, pesawat Tetuko CN-120, TV Sony, radio Telesonic, kulkas Sharp?” kata Dullah.

“Itu bukan masuk prestasi yang berkaitan dengan kemampuan anak bangsa Indonesia di bidang teknologi,” kata Prof Nafaq al-Bahluli meremehkan.
“Apa Anda mengingkari fakta?” sergah Dullah dengan nada tinggi.

“Tidak ada yang mengingkari fakta,” sahut Prof Nafaq al-Bahluli,”Sebab mobil Kijang yang Anda maksud itu sejatinya adalah mobil Toyota bikinan Jepang. Mobil Kijang diproduksi di Indonesia untuk alasan pemasaran belaka. Jadi, hanya nama saja yang Indonesia: Kijang. Sejatinya itu produk Jepang. Motor Revo, Astrea, Supra, King, Vario sejatinya adalah motor Honda bikinan Jepang yang meluaskan produksi dengan membangun pabrik di Indonesia. Begitu juga dengan produk radio, televisi, kulkas, kipas angin adalah bikinan Jepang yang meluaskan pasar dengan memproduksi di Indonesia. Pesawat pun, itu mencontoh Cassa Spanyol. Bahkan pabriknya sudah bangkrut.”

Dullah diam. Semua peserta sarasehan diam menarik nafas berat atas fakta-fakta yang disodorkan Prof Nafaq al-Bahluli terkait kebodohan dan kemalasan orang-orang Indonesia. Prof Nafaq al-Bahluli sendiri  memandangi hadirin sambil senyum-senyum mengejek.

Tanpa terduga, tiba-tiba Sufi Sudrun bertanya,”Saya mau tanya soal teknologi meriam alias kanon, prof, boleh tidak?”

“Oo silahkan, boleh saja,” sahut Prof Nafaq mengerutkan kening.
“Siapa yang mengembangkan teknologi meriam pertama kali?” tanya Sufi Sudrun.

“Sebagaimana kita ketahui dari sejarah, teknologi pembuatan meriam dikembangkan bangsa Eropa pada abad ke-15. Karena itu, orang-orang Indonesia selalu kalah bertempur melawan Belanda karena tidak punya meriam. Mana mungkin meriam dan senapan dilawan tombak, keris, pedang, panah, kelewang?” jawab Prof Nafaq al-Bahluli menjelaskan.

“Ah rupanya pengetahuan sejarah Anda belum lengkap, prof,” tukas Sufi Sudrun tegas.
“Belum lengkap bagaimana?” sergah Prof Nafaq,”Apa maksudnya?”
“Anda harus membaca lebih detail sejarah perjalanan Vasco da Gama dari Eropa ke India.”

“Mmm, bukankah dia masuk ke Calicut di India tahun 1498?”
“Itu benar, tapi yang saya maksud bagaimana sambutan Samutiru, penguasa Calicut terhadap kehadiran Vasco da Gama waktu itu?”
tanya Sufi Sudrun.

“Kalau tidak salah, Vasco da Gama disambut dengan salvo tembakan bedhil ke udara.”
“Berarti saat Portugis pertama datang ke India, penduduk India sudah menggunakan bedhil, benar begitu kan?”
kata Sufi Sudrun dengan nada tanya.

“Hmm, kayaknya begitu.”
“Tahun 1510, 12 tahun pasca kedatangan Vasco da Gama, d’Abuquerque membawa kapal-kapal akan menyerang Malaka karena Sultan Malaka telah menawan anak buahnya yang dipimpin Diego de Coelho. Lewat kurir Diego de Coelho mengirim surat kepada d’Albuquerque, memperingatkan agar pimpinannya itu tidak gegabah menyerang Malaka. Apakah kira-kira alasan Diego de Coelho meminta pimpinannya itu agar tidak gegabah?”
tanya Sufi Sudrun.

“Kalau tidak salah Diego de Coelho memperingatkan d’Albuquerque tentang meriam-meriam ukuran besar yang melindungi bandar Malaka,” kata Prof Nafaq al-Bahluli.
“Menurut Diego de Coelho, darimana meriam-meriam itu didatangkan?”
“Dari Jawa.”
“Berarti dari Majapahit dan Demak, bukan?”
tanya Sufi Sudrun.
“Kayaknya begitu pak.”
“Dalam sastra  Majapahit Kidung Panji Wijayakrama disebutkan keberadaan alat perang yang disebut BEDHIL  dan BEDHIL BESAR serta istilah JURU MUDI NING BEDHIL BESAR. Apa kira-kira makna alat-alat perang itu?”
kata Sufi Sudrun dengan suara ditekan.

“Eee kalau tidak salah BEDHIL adalah Senapan dan BEDHIL BESAR adalah Meriam, sedang JURU MUDI NING BEDHIL BESAR adalah operator Meriam,” sahut Prof Nafaq al-Bahluli.

“Berarti jauh sebelum Portugis datang ke India tahun 1498, orang Majapahit dan Demak sudah memproduksi BEDHIL dan BEDHIL BESAR yang diperdagangkan sampai ke Malaka. Bukankah seperti itu kesimpulannya, prof?” kata Sufi Sudrun

Prof Nafaq al-Bahluli diam.

“Bagaimana sampeyan dan para sejarawan didikan sekolah menetapkan fakta palsu bahwa senapan dan meriam itu yang memperkenalkan bangsa Eropa? Tidakkah itu mengingkari bahwa penemu mesiu adalah Cina? Bukankah meriam pertama kali digunakan oleh Jenghiz Khan pada pertengahan abad ke-13? Bukankah Majapahit yang letaknya lebih dekat dengan Cina dengan cepat melakukan alih teknologi dibanding Eropa yang sangat jauh dari Cina?” tanya Sufi Sudrun berantai.

Prof Nafaq al-Bahluli termangu-mangu bingung.

“Kalau pada awal abad 15 orang Majapahit dan Demak sudah mampu memproduksi senapan dan meriam,” kata Sufi Sudrun dengan nada tinggi,” Dari aspek mana sampeyan menyimpulkan Bangsa Indonesia adalah bangsa goblok, pemalas, emosional, tidak mampu membuat karya apa-apa kecuali menjadi konsumen pengguna produk bangsa Barat?”


Sumber : Theglobal Review
Sumber : http://strategi-militer.blogspot.com/2013/01/menggugat-mitos-bangsa-bodoh-ciptaan.html